Kamis, 24 Februari 2011

TIRAKAT

Liring sepuh sepi hawa Awas roroning
atunggal Tan samar pamoring sukma
Sinukmanya winahya ing ngasepi Sinimpen
telenging kalbu Pambukaning wanara Tarlen
saking liyep layaping ngaluyup Pindha sesating
supena Sumusiping rasa jati Sajatine kang
mangkana Wus kakenan nugrahaning Hyang
Widhi Bali alaming asuwung Tan karem
karameyan Ingkang sipat wisesa-winisesa wus
Milih mula-mulanira Mulane wong anom sami.
Manusia jawa (tiyang Jawi) pada saat
tertentu rela/mau dengan sengaja, menempuh
kesukaran dan ketidaknyamanan untuk maksud-
maksud ritual dalam budaya spiritualnya, yang
berakar dari pikiran bahwa usaha-usaha seperti
itu dapat membuat orang teguh imannya dan
mampu mengatasi kesukaran-kesukaran,
kesedihan dan kekecewaan dalam hidupnya
melalui latihan keprihatinannya pada jalan
tirakatnya. Mereka juga beranggapan bahwa
orang bisa menjadi lebih tekun, dan terutama
bahwa orang yang telah melakukan usaha
semacam itu kelak akan mendapatkan pahala.
Tirakat kadang-kadang dijalankan
dengan berpantang makan kecuali nasi putih saja
(Mutih) pada hari senin dan kamis, dengan jalan
berpuasa pada bulan puasa (Siyam) ada
terkadang juga berpuasa selama beberapa hari
(Nglowong) menjelang hari-hari besar Islam,
seperti pada Bakda Besar (Bulan pertama
menurut perhitungan orang Jawa), yaitu bulan
Sura. Orang Jawa juga mempunyai adat untuk
hanya makan sedikit sekali (tidak lebih daripada
yang dapat dikepal dengan satu tangan) ngepel,
untuk jatah makannya selama satu atau dua hari,
atau adat untuk berpuasa dan menyendiri dalam
suatu ruangan (ngebleng), bahkan ada juga
yang melakukannya di dalam suatu ruangan
yang gelap pekat, yang tidak dapat ditembus oleh
sinar cahaya (patigeni).
Tirakat dapat juga dijalankan pada saat-
saat khusus, misalnya pada waktu orang
menghadapi suatu tugas berat, waktu mengalami
krisis dalam keluarga, jabatan, atau dalam
hubungan dengan orang lain, tetapi dapat juga
pada waktu suatu masyarakat atau negara berada
dalam suatu masa bahaya, pada waktu terkena
bencana alam, epidemi dan sebagianya. Dalam
keadaan seperti itu melakukan tirakat dapat
dianggap sebagai tanda rasa prihatin yang
dianggap perlu oleh orang Jawa bila seseorang
berada dalam keadaan bahaya.
Bertapa ( Tapabrata )
Tapabrata dianggap oleh para
penganut agami Jawi sebagai suatu hal yang
sangat penting, Dalam kesusateraan kuno orang
kuno, konsep tapa dan tapabrata diambil
langsung dari konsep Hindu tapas, yang berasal
dari buku-buku Veda. Selama berabad-abad
para pertapa dianggap sebagai orang keramat,
dan anggapan bahwa dengan menjalankan
kehidupan yang ketat dengan disiplin tinggi, serta
mampu menahan hawa nafsu, orang dapat
mencapai tujuan-tujuan yang sangat penting.
Dalam cerita-cerita wayang kita sering dapat
menjumpai adanya tokoh pahlawan yang
menjalankan tapa.
Orang jawa mengenal berbagai cara
bertapa, dan cara-cara itu telah disebutkan oleh J.
Knebel (1897 : 119-120 ) dalam karangannya
mengenai kisah Darmakusuma, murid dari
seorang wali di abad ke 16, berbagai cara
menjalankan tapa adalah :
1. Tapa ngalong, dengan bergantung terbalik, dengan
kedua kaki diikat pada dahan sebuah pohon.
2. Tapa nguwat, yaitu bersamadi disamping makam
nenek moyang anggota keluarga, atau orang
keramat, untuk suatu jangka waktu tertentu.
3. Tapa bisu, dengan menahan diri untuk tidak
berbicara, cara bertapa semacam ini biasanya
didahului oleh suatu janji.
4. Tapa bolot, yaitu tidak dan tidak membersihkan diri
selama jangka waktu tertentu.
5. Tapa ngidang, dengan jalan menyingkir sendiri ke
dalam hutan.
6. Tapa ngramban, dengan menyendiri di dalam
hutan dan hanya makan tumbuh-tumbuhan
7. Tapa ngambang, dengan jalan merendam diri di
tengah sungai selama beberapa waktu yang
sudah ditentukan.
8. Tapa ngeli, adalah cara bersamadi dengan
membiarkan diri dihanyutkan arus air di atas
sebuah rakit.
9. Tapa tilem, dengan cara tidur untuk suatu jangka
waktu tertentu tanpa makan apa-apa.
10. Tapa mutih, yaitu hanya makan nasi saja, tanpa
lauk pauk.
11. Tapa mangan, dilakukan dengan jalan tidak tidur,
tetapi boleh makan.
Ketiga jenis tapa yang tersebut terakhir,
sebenarnya juga dilakukan oleh orang-orang
yang hanya menjalankan tirakat aja, oleh karena
itu batas antara tirakat dan tapabrata itu tidak
begitu jelas. Walaupun demikian bahwa kita
harus memperhatikan bahwa ke 11 jenis tapabrata
itu jarang dilakukan secara terpisah, semua
biasanya dijalankan dengan tata urut tersendiri,
atau dilakukan dengan cara menggabung-
gabungkan.
Oleh karena itu tapa semacam itu mirip
dengan tapa pada orang hindu dahulu, sehingga
dengan demikian ada suatu perbedaan fungsional
antara tirakat dan tapabrata. Namun sering terjadi
bahwa orang melakukan tapabrata bersamaan
dengan samadi, dengan maksud untuk
memperoleh wahyu. Tentu saja tujuan dari tapa
semacam ini adalah untuk mendapatkan
kenikmatan duniawian, akhirnya perlu disebutkan
bahwa pada orang Jawa tapa merupakan salah
satu cara penting dan utama untuk bersatu
dengan Tuhan.
Meditasi atau Semedi.
Bahwa meditasi dan tapa adalah sama,
serta perbedaan antara keduanya hanya terletak
pada intensitas menjalankannya saja. Teknik-
teknik serta latihan-latihan untuk melakukan
meditasi ada bermacam-macam, yaitu dari yang
sangat sederhana, seperti memusatkan perhatian
pada titik-titik hujan yang jatuh ditanah, hingga
yang sukar dan berat dijalankan, seperti menatap
cahaya yang terang benderang dari dalam
sebuah gua yang gelap ditepi pantai, dengan
gemuruh ombak sebagai latar belakangnya,
sambil berdiri dengan posisi yang sukar selama
12 jam berturut-turut.
Meditasi atau semedi memang
biasanya dilakukan bersama-sama dengan
tapabrata, orang yang melakukan tapa ngeli
misalnya, tidak hanya duduk diatas rakitnya saja
sambil bengong, tidak berbuat apa-apa, ia
biasanya juga bermeditasi. Sebaliknya meditasi
seringkali juga dijalankan bersama dengan suatu
tindakan keagamaan lain, misalnya dengan
berpuasa atau tirakat.
Maksud yang ingin dicapai dengan
bermeditasi itu ada bermacam-macam, misalnya
untuk memperoleh kekuatan iman dalam
menghadapi krisis sosial ekonomi atau sosial
politik, untuk memperoleh kemahiran berkreasi
atau memperoleh kemahiran dalam kesenian,
untuk mendapatkan wahyu, yang
memungkinkannya melakukan suatu pekerjaan
yang penuh tanggung jawab atau untuk
menghadapi suatu tugas berat yang dihadapinya.
Namun banyak orang melakukan meditasi untuk
memperoleh kesaktian ( kasekten ) disamping
untuk menyatukan diri dengan sang Pencipta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar